Alam Dzulfiqar bendera Nanggroe Atjeh Darussalam |
Laporan Khusus kali ini akan memuat serial “Tulis Ulang
Sejarah Nusantara” yang insya Allah akan membuka fakta-fakta sejarah tentang
Nusantara yang tidak pernah atau jarang didapati dari karya-karya kaum
oritentalis phobia Islam seperti Snouck Hurgronje, Raffles, dan sebagainya.
Bangsa Indonesia yang sangat gemilang masa lalunya, dimana leluhurnya merupakan
orang-orang yang sangat dihormati dunia, harus bangkit kembali menemukan jati
dirinya.
Para sejarawan Indonesia seharusnya mulai melakukan
dekonstruksi terhadap sejarah Nusantara made in kolonial, dan melakukan
rekonstruksi kembali, penulisan ulang, sejarah Nusantara yang sungguh-sungguh
jujur. Semua ini sangat bermanfaat bagi generasi sekarang dan juga generasi
anak cucu kita kelak. Bangsa besar ini jangan lagi menjadi bangsa kacung dari
bangsa-bangsa asing yang seenak perutnya menjadi majikan di Bumi Pertiwi.
Nusantara adalah tanah milik kaum pribumi. Segala
kekayaan alamnya merupakan anugerah dari Allah swt untuk mensejahterakan local genius
yang ada di sini, yakni bangsa Indonesia sendiri. Kita tidak anti asing, tetapi
kita akan memperlakukan asing sebagaimana kita memperlakukan seorang tamu. Jika
seorang tamu berlaku sopan di rumah kita, maka kita akan jamu dengan layak.
Namun jika tamu itu tidak sopan, bahkan mengaku-aku sebagai majikan atau tuan
rumah, maka sudah selayaknya kita usir. Indonesia for Indonesian, sebagaimana
Palestina untuk Palestinian, dan sebagainya.
Inilah sejarah Nusantara. Sejarah nenek moyang kita.
Sejarah leluhur kita yang selama ini disembunyikan rapat-rapat oleh kaum
penjajah, oleh orang-orang asing, yang tidak ingin melihat Indonesian sebagai
tuan di rumahnya sendiri. Kita mulai dari wilayah paling barat Nusantara: Atjeh
Darussalam.
***
Aceh adalah negeri Islam. Adat istiadat masyarakatnya
tidak bisa lepas dari syariat Allah SWT. Kitab suci Al Qur’an merupakan hukum
tertinggi di seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam yang diterjemahkan dalam
Qanun Meukuta Alam, Konstitusi Kerajaan Aceh Darussalam. Belasan abad sebelum
perampok Eropa seperti Vasco da Gama, Christopher Colombus, dan Ferdinand
Magellhaens lahir, cahaya Islam telah menyinari tiap jumput tanah Aceh dengan
kemilaunya. Dari wilayah di ujung utara pulau Sumatera inilah Islam merambah ke
seluruh Nusantara hingga rangkaian pulau dan kepulauan di zamrud khatulistiwa
ini sekarang dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Sebab itu, Aceh
Darussalam juga disebut sebagai Serambi Mekkah (Seuramoë Makah).
Peter Bellwood [1], Reader in
Archaeology di Australia National University, yang telah melakukan
banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara, menemukan
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, yang berarti
Nabi Muhammad SAW belum lahir, beberapa jalur perdagangan utama telah
berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Temuan beberapa
tembikar Cina serta benda-benda perunggu dari zaman Dinasti Han dan zaman-zaman
sesudahnya di selatan Sumatera dan di Jawa Timur membuktikan hal
ini. Dalam catatan kakinya [2] Bellwood menulis.
“Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana
keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang
perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti
Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London. Benda-benda ini
dilaporkan berasal dari kuburan di Lumajang, Jawa Timur, yang sudah sering
dijarah…” Bellwood dengan ini hendak menyatakan bahwa sebelum tahun 221 SM,
para pedagang pribumi diketahui telah melakukan hubungan dagang dengan para
pedagang dari Cina.
Menurut Bellwood, perdagangan pada zaman itu di Nusantara
dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang
dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang
luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru
didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall 1967, 1985). Tapi bisa saja
terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai
sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya.
Di Jawa, masa sebelum masehi juga tidak ada catatan
tertulis. Pangeran Aji Saka sendiri baru “diketahui” memulai sistem penulisan
huruf Jawi kuno yang berdasarkan pada tipologi huruf Hindustan pada masa antara
0 sampai 100 Masehi. Dalam periode ini di Kalimantan telah berdiri Kerajaan
Hindu Kutai dan Kerajaan Langasuka di Kedah, Malaya.
Tarumanegara di Jawa
Barat baru berdiri tahun 400-an Masehi. Di Sumatera, agama Budha baru menyebar
pada tahun 425 Masehi dan mencapai kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya.
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara terutama
Sumatera dan Jawa dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts.
Tibbetts meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari
Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra
Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab
dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara
telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri
Cina sejak abad kelima Masehi. [3]
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa
menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M hanya berbeda 15
tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun
setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab di sebuah
pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang
masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya.
Disebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini,
orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi
dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah
beranak–pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan
tempat-tempat pengajian al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal
bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid). [4]
Temuan ini diperkuat oleh Prof. Dr. HAMKA yang menyebut
bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah
menemukan satu kelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir
Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah
mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air.
HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para
pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika.[5]
Dari berbagai literatur, diyakini bahwa kampung Islam di
daerah pesisir Barat Pulau Sumatera itu bernama Barus atau yang juga disebut
Fansur. Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara
kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Di zaman
Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun ketika Sriwijaya mengalami
kemunduran dan digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam
wilayah Aceh.
Amat mungkin Barus merupakan kota tertua di Indonesia
mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah
disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil,
Yunani, Syiria, Armenia, China, dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus,
salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Aleksandria Mesir, pada
abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera
terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan
wewangian dari kapur barus. Bahkan dikisahkan pula bahwa kapur barus yang
diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan
bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar
5.000 tahun sebelum Masehi!.[6] (Bersambung/Rizki
Ridyasmara).
Footnote :
[1] Peter Bellwood,
Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, Gramedia, 2000. Judul asli “Prehistoriy of
the Indo-Malaysian Archipelago”, Academic Press, Sidney, 1985. Buku ini
merupakan salah satu hasil riset Bellwood yang menjadi pegangan peneliti dunia
tentang catatan arkelogis Polynesia dan Asia Tenggara.
[2] Ibid, hal.455.
[3] G.R. Tibbetts,
Pre Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt.3, 1956, hal.207. Penulis
Malaysia, Dr. Ismail Hamid dalam “Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak
Islam” terbitan Pustaka Al-Husna, Jakarta, cet.1, 1989, hal.11 juga mengutip
Tibbetts.
[4] Kitab Chiu
Thang Shu, tanpa tahun.
[5] Prof. Dr.
HAMKA; Dari Perbendaharaan Lama; Pustaka Panjimas; cet.III; Jakarta; 1996;
Hal.4-5.
[6] Harian Kompas:
Akhir Perjalanan Sejarah Barus (1 April 2005)
0 comments:
Post a Comment