Masyarakat barus tempo dulu. |
Oleh
: Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi
Mungkin, sebagian di antara kita masih ada yang merasa
asing dengan nama “Barus” sebuah kota tertua di Indonesia yang terletak di
pinggir pantai Barat Sumatera. Tapi, tahukah kita bahwa Barus merupakan
perkampungan Arab Muslim pertama di Indonesia? dan sadarkah kita bahwa karena
ketidaktahuan kita, kita melupakannya?
Sekilas tentang Barus
Sebelum menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli
Tengah, Sumatera Utara, Barus merupakan kota Emporium dan pusat peradaban pada
abad 1 – 17 M, Barus disebut juga dengan nama lain, yaitu Fansur (1). Kampung
kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan
Sibolga, sekitar 414 kilometer selatan Medan. Pada zaman Sriwijaya, kota Barus
masuk dalam wilayahnya. Namun, saat Sriwijaya mengalami kemunduran dan
digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, Barus pun masuk dalam wilayah
Kerajaan Aceh.
Lalu kenapa Barus di sebut sebagai kota tertua? Karena
mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah
disebut-sebut sejak awal masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil,
Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya.
Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus,
salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir, pada
abad ke-2 Masehi, juga telah menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera
terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang di kenal
menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur
barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk
dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Fir’aun sejak Ramses
II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi (2).
Berdasarkan buku Nuchbatuddar karya Addimasqi,
Barus juga dikenal sebagai daerah awal masuknya agama Islam di Nusantara
sekitar abad ke-7 Masehi. Sebuah makam kuno di kompleks pemakaman Mahligai,
Barus, di batu nisannya tertulis bahwa Syaikh Rukunuddin wafat tahun 672 Masehi
dan terdapat pula makam Syaikh Ushuluddin yang panjangnya kira-kira 7 meter.
Ini memperkuat dugaan bahwa komunitas Muslim di Barus sudah ada pada era itu.
(3)
Sebuah tim Arkeolog yang berasal dari Ecole
Francaise D’extreme-Orient (EFEO) Perancis yang berkerjasama dengan
peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PPAN) di Lobu Tua-Barus,
telah menemukan bahwa pada sekitar abad ke 9-12 M, Barus telah menjadi sebuah
perkampungan multi-etnis dari berbagai suku bangsa seperti Arab, Aceh, India,
China, Tamil, Jawa, Batak, Minangkabau, Bugis, Bengkulu dan sebagainya.
Tim tersebut menemukan banyak benda-benda berkualitas
tinggi yang usianya sudah ratusan tahun, dan ini menandakan dahulu kala
kehidupan di Barus itu sangatlah makmur. (4) hal ini dapat dibuktikan dari
banyaknya pedagang Islam yang terdiri dari orang Arab, Aceh dan sebagainya,
hidup dengan berkecukupan di kota Barus dan sekitarnya. (5)
Kapan Islam masuk ke
Barus?
Masuknya cahaya Islam ke kota Barus juga tak terlepas
dari peran Banda Aceh yang rute pelayaran perniagaannya telah dikenal sejak
zaman dahulu oleh para pedagang Arab, India dan China.
Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara terutama
Sumatera dan Jawa dengan Cina diakui oleh sejarawan G.R Tibbetts. Tibbetts
meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dan jazirah Arab
dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts
menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan nusantara
saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Nusantara telah menjadi tempat
persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad
kelima Masehi”. (6)
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa
menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M – hanya berbeda 15
tahun setelah Rasulullah saw. menerima wahyu pertama atau sembilan setengah
tahun setelah Rasulullah berdakwah secara terang-terangan kepada bangsa Arab di
sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim
yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Buddha Sriwijaya.
Disebutkan pula bahwa di perkampungan-perkampungan ini,
orang-orang Arab bermukim dan telah melakukan asimilasi dengan penduduk pribumi
dengan jalan menikahi perempuan-perempuan lokal secara damai. Mereka sudah
beranak-pinak di sana. Dari perkampungan-perkampungan ini mulai didirikan
tempat-tempat pengajian Al-Qur’an dan pengajaran tentang Islam sebagai cikal
bakal madrasah dan pesantren, umumnya juga merupakan tempat beribadah (masjid).
Selain itu, mereka juga memiliki kedudukan yang baik dan
mempunyai pengaruh cukup besar di dalam masyarakat maupun pemerintah (Kerajaan
Buddha Sriwijaya). Bahkan, kemudian ada juga yang ikut berkuasa di sejumlah
bandar. Semakin lama, semakin banyak pula penduduk setempat yang memeluk Islam.
Bahkan, ada pula raja, adipati, atau penguasa setempat yang akhirnya masuk
Islam. Tentunya dengan jalan damai. (7)
Bahkan, Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi pada tahun
1000 M menulis sebuah kitab yang menggambarkan betapa di zaman keemasan
Kerajaan Sriwijaya sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim. Perkampungan itu
berdiri di dalam wilayah kekuasaan Sriwijaya. Hanya karena hubungan yang
teramat baik dengan dunia Islam, Sriwijaya memperbolehkan orang-orang Islam
yang sudah ada di wilayahnya sejak lama hidup dalam damai dan memiliki
perkampungannya sendiri, dimana di dalamnya berlaku syari’at Islam. (8)
Temuan lain mengenai Barus juga diperkuat oleh Prof. Dr.
HAMKA, yang menyebutkan bahwa, seorang pencatat sejarah Tiongkok yang
mengembara pada tahun 674 M telah menemukan satu kelompok bangsa Arab yang
membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, Hamka
menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah
masuknya agama Islam di Nusantara. Hamka juga menambahkan bahwa temuan ini
telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di
Princetown University di Amerika. (9)
Perjalanan dari Sumatera sampai ke Mekkah sendiri pada
abad itu (dengan mempergunakan kapal laut dan transit lebih dulu di Tanjung
Comorin, India) konon memakan waktu 2,5 hampir 3 tahun. Jika tahun 625
dikurangi 2,5 tahun, maka yang didapat adalah tahun 622 M lebih enam bulan.
Untuk melengkapi semua syarat mendirikan sebuah perkampungan Islam, setidaknya
memerlukan waktu 5-10 tahun. Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya para
pedagang Arab yang mula-mula membawa Islam masuk ke Nusantara adalah
orang-orang Arab Islam generasi pertama para sahabat Rasulullah saw.,
segenerasi dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
Dalam literatur kuno asal Tiongkok tersebut, orang-orang
Arab disebut sebagai orang-orang Ta Shib, sedangkan Amirul Mukminin
disebut sebagai Tan mi mo ni’. Disebutkan bahwa duta Tan mi mo ni’,
utusan Khalifah, telah hadir di Nusantara pada tahun 651 M atau 31 H dan
menceritakan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dengan tiga kali
berganti kepimimpinan. Maka dengan demikian, duta Muslim itu datang ke Nusantara
di perkampungan Islam di pesisir pantai Sumatera pada saat kepimimpinan
Khalifah Utsman bin Affan (644 -656 M). hanya berselang 20 tahun setelah
Rasulullah saw. wafat (632 M). (10)
Dari bukti-bukti di atas, dapatlah dipastikan bahwa Islam
telah masuk ke Nusantara pada masa Rasulullah masih hidup. Secara ringkas dapat
dipaparkan sebagai berikut:
- Rasulullah menerima wahyu pertama di tahun 610 M, 2,5 tahun kemudian menerima wahyu kedua (kuartal pertama tahun 613 M).
- Lalu selama 3 tahun lamanya berdakwah secara diam-diam periode Arqam bin Abil Arqam (sampai sekitar kuartal pertama tahun 616 M) dan setelah itu baru melakukan dakwah secara terbuka dari Mekkah ke seluruh Jazirah Arab.
- Menurut literatur kuno Tiongkok, sekitar tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam di pesisir Sumatera (yang disebut Barus).
Jadi, hanya 9 tahun sejak Rasulullah saw. memproklamirkan
dakwah Islam secara terbuka, di pesisir Sumatera sudah terdapat sebuah
perkampungan Islam. (11)
Inilah, yang oleh banyak sejarawan dikenal dengan Teori
Mekkah. Sehingga Teori Gujarat yang berasal dari Orientalis Snouck Hurgronje
terbantah dengan sendirinya. Dan Barus akan tetap menjadi sejarah peradaban
Islam yang tak akan terlupakan bagi siapa saja yang mengetahuinya. (Penulis, Sarah
Larasati Mantovani)
Footnote:
(1) http://id.wikipedia.org/wiki/Barus,_Tapanuli_Tengah,
data-data ada yang di ambil dari buku Rizki Ridyasmara, Gerilya Salib di
Serambi Mekkah: Dari Zaman Portugis hingga Paska Tsunami, Pustaka
al-Kautsar, 2006, Jakarta.
(2) Ibid, hlm. 4-5. Lihat Akhir Perjalanan
Sejarah Barus, KOMPAS, 1 April 2005.
(3) Lihat Naskah Jawi yang dialihtuliskan dan dipetik
dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum
Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang
disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi
Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri
Barus”, lihat juga Sejarah Raja-Raja Barus, Ecole Franéaise
d’Extréme-Orient, 1988 dan A Kingdom of Words: Language and Power in
Sumatra, Oxford University Press, 1999.
(4) Ibid, hlm. 5.
(5) Ibid, hlm. 6. Lihat Sagimun M.D., Peninggalan
Sejarah, Masa Perkembangan Agama-Agama di Indonesia, CV. Haji Masagung, cet. 1,
1998, hlm. 58.
(6) Ibid, hlm. 3. Lihat G.R Tibbetts, Pre
Islamic Arabia and South East Asia, JMBRAS, 19 pt.3, 1956, hlm. 207. Penulis
Malaysia – Dr. Ismail Hamid dalam Kesusastraan Indonesia Lama Bercorak
Islam, terbitan Pustaka al-Husna, Jakarta, cet.1, 1989, hlm. 11 juga mengutip
Tibbetts.
(7) Ibid, hlm. 3-4. Lihat Kitab Chiu Thang Shu,
tanpa tahun.
(8) Ibid, hlm. 12. Lihat Buzurg bin Shahriyar
al Ramhurmuzi, Aja’ib al Hind.
(9) Ibid, hlm. 4. Lihat HAMKA, Dari
Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas, cet. 3, Jakarta, 1996, hlm. 4-5.
(10) Ibid, hlm. 9.
(11) Ibid, hlm. 7. Lihat Joesoef Sou’yb, Sejarah
Khulafaur Rasyidin, Bulan Bintang, cet. 1, 1979, hlm. 390-391.
0 comments:
Post a Comment