Oleh: Leirissa, Richard Z
Teori Set of Sets
Untuk
memahami integrasi antara jalur-jalur perdagangan interkontinental melalui laut
(Samudra Hindia) dan melalui darat (Asia Tengah) kita memerlukan wawasan
sejarah yang tidak konvensional. Salah satu dasar pemikiran ke arah pandangan
sejarah seperti itu adalah teori set of sets yang berasal dari George
Cantor, seorang ahli matematika. Teori matematika itu dikembangkan menjadi
teori sejarah oleh Braudel untuk Eropa (Braudel, 1988) dan Chaudhuri untuk Asia
(Chaudhuri, 1990). Cantor beranggapan, bahwa kemampuan otak manusia untuk
memikirkan “banyak” sebagai “satu” dan membagi “satu” menjadi “banyak” adalah
dasar dari teori set. Kemampuan itu dimungkinkan karena secara naluriah manusia
mengenal suatu prinsip untuk membeda-bedakan berbagai elemen dalam suatu set
(diferensiasi), dan prinsip yang memungkinkan elemen-elemen itu
diklasifikasikan dalam satu set (integrasi), serta suatu prinsip mengenai
urutan (Chaudhuri, 1990).
Dengan
demikian, berdasarkan teori set of sets itu, sejarah Asia antara abad
ke-7 hingga ke-18 dapat ditafsirkan sebagai:
“Suatu
proses sejarah yang berlangsung lebih dari satu melenium di mana laut, lahan
subur, gunung-gunung dan gurun-gurun merupakan elemen-elemen dasar dalam suatu
kawasan tempat terjadi interaksi antara para pelaut, para nomad, dan para
petani. Pemikiran seperti itu memungkinkan adanya suatu prinsip di mana setiap
elemen dari berbagai set seperti Samudra Hindia, orang-orang Arab, orang-orang
India, orang-orang Cina dan lain sebagainya dipadukan dalam pola sejarah yang
sama”. (Chaudhuri, 1990: 28).
Jalur Darat
Perdagangan
transkontinental yang membentang di Asia Tengah dan menghubungkan Chang-an
(ibukota Cina sejak abad ke-7 hingga ke-13), melintasi stepe-stepe dan
gurun-gurun, wilayah-wilayah Parsi, selatan Laut Kaspia, Mesopotamia, hingga
Laut Tengah (pelabuhan Antiochia) itu, telah ada sebelum tarik Masehi.
Fungsi
utamanya adalah menyalurkan produk-produk dari Timur ke Barat (melalui Laut
Tengah); alat utama adalah rombongan unta (karavan) dalam jumlah yang sangat
besar. Tetapi, selain itu, para peternak yang bermukim di daerah-daerah stepe
itu juga memperdagangkan produk-produk mereka ke Selatan dengan menggunakan
karavan-karavan unta, hingga mencapai wilayah-wilayah di Samudra Hindia
(Chaudhuri, 1990: 140).
Sejak
masa Kalifah Ummayah (abad ke-7) Islam menyebar pula melalui jalur sutra di
Asia Tengah hingga mencapai Cina (Chaudhuri, 1990: 49).
Salah
satu wilayah penyebaran Islam yang penting adalah Trans Oxiana yang dialiri
sungai-sungai Amu Darya dan Syr Darya yang bermuara di Laut Aral. Selain
pengaruh Islam dari Bagdad, kemudian budaya Islam-Parsi juga memasuki wilayah
itu sehingga kota-kota Samarkand dan Bukara berubah menjadi pusat peradaban
Islam-Parsi (Roberts, 1995: 322-332).
Expansi
Islam hingga wilayah Trans Oxiana itu menimbulkan konflik dengan penduduk stepe
yang masih kafir, sehingga mengakibatkan terputusnya jalur sutra. Tetapi sejak
abad ke-13 jalur sutra terbuka kembali. Hal ini berkaitan dengan ekspansi
Mongol (berasal dari Mongolia sekarang) dalam abad itu. Chengiz Khan, salah
seorang pemimpin suku Mongol, berhasil menyatukan suku-suku Mongol lainnya, dan
melancarkan perang selama 30 tahun lebih, yang menghasilkan suatu “emperium
Mongol” yang membentang dari Cina hingga Mesopotamia, dan yang bertahan hingga
abad ke-15.* Chengiz Khan berhasil menguasai wilayah Trans Oxiana (1223) dan
dengan demikian membuka kembali jalur sutra (Alexander, 1993: 69-94). Putranya,
Ogodei, mewarisi gelar “Khan Akbar”, tetapi di masa cucu-cucunya imperium itu
terpecah dengan Hulegu Beg sebagai Khan Akbar di Barat (Mesopotamia), dan
Khubilai Khan, di Timur (Cina) (Rossabi, 1988). Lalu seluruh imperium itu
terbagi-bagi dalam wilayah kekuasaan yang lebih kecil, masing-masing dipimpin
oleh seorang “Il Khan” (Khan Kecil).
Sejak
abad ke-13 sejumlah panglima Mongol yang tersebar dalam wilayah emperium yang
luas itu mulai menganut Islam. Salah seorang turunan Chengiz Khan yang terkenal
adalah Amir Timur (dalam literatur Barat disebut Timur Lenk) yang lahir di
Bukara (salah satu wilayah Il Khan) pada tahun 1336. Pada tahun 1369 ia
berhasil menyatukan wilayah Trans Oxiana dan membangun ibukotanya di Samarkand
dan menggunakan gelar “Khan Akbar” (Great Khan). Dinasti Timur bertahan di
wilayah itu hingga awal abad ke-15. Wilayah itu kemudian dimasuki oleh
kelompok-kelompok sosial yang menamakan dirinya Uzbek (kini menjadi Republik
Uzbekistan).
Sejak
menjadi Khan Akbar, Amir Timur mulai melancarkan serangkaian peperangan untuk
memulihkan kembali kekuasaan Chengiz Khan dari abad ke-13. Dalam ekspansinya ke
Barat pasukan-pasukan berkuda yang dipimpinnya berhasil menduduki Parsi (1380),
kemudian ke Azerbaijan, Bagdad, Damaskus, Angora (Angkara) dan Georgia di
perbatasan Barat Rusia.
Pada
tahun 1389 Amir Timur berhasil menaklukkan kerajaan Delhi, kerajaan Islam di
India yang juga dibentuk oleh bangsa Mongol. Tetapi rencananya untuk menyerbu
Cina ternyata tidak terwujud karena ia meninggal pada tahun 1405. Makamnya yang
megah dan terkenal dengan nama Menara Gur Amir di Samarkand merupakan bukti
dari mekarnya budaya Parsi di Trans Oxiana. Sejak Amir Timur berkuasa di Trans
Oxiana, wilayah itu menjadi kunci utama dalam kelancaran perdagangan jalur
sutra di Asia Tengah.
Turunan
yang terakhir dari Amir Timur, Zahir Al-Din Muhammad Babar (Padshah Ghazi)
kalah dalam perang suksesi, dan melarikan diri ke Afganistan dan kemudian
berhasil membangun sebuah kerajaan Islam di India dalam abad ke-16, yaitu
kerajaan Moghul, yang tertahan hingga abad ke-18.
Suatu
aspek yang penting dalam sejarah jalur sutra yang terintegrasi itu adalah
pengaruh penduduk yang mendiami stepe-stepe Asia Tengah (orang-orang “Tartar”)
di Samudra Hindia. Para ahli sejarah menilai, bahwa pengaruh ekspansi mereka ke
daerah-daerah peradaban dunia itu merupakan unsur yang positif dalam sejarah
Samudra Hindia. Unsur-unsur perang yang mendominasi budaya mereka seperti kuda,
busur pendek, dan strategi perang (Keegan, 1994: 155-217) ternyata memperkuat
struktur sosial kerajaan-kerajaan yang mereka bentuk di wilayah-wilayah
peradaban Asia, seperti kerajaan Turki sejak 1259, kerajaan Moghul (1526 –
1750), dan kerajaan Cina dinasti Yuan (1234 – 1368) serta dinasti Mancu atau
Cing (1644 – 1912).
Jalur Laut
Sejak
Kalifah Abasiah mulai mengalami kemunduran di abad ke-10 pola perdagangan dari
Timur Tengah ke Asia Timur mengalami perubahan yang fundamental. Sejak itu di
sepanjang Samudra Hindia muncul apa yang oleh Chaudhuri dinamakan “emporium”,
yaitu kota-kota pelabuhan yang menyediakan segala macam fasilitas bagi kaum
pedagang dan pelaut (Chaudhuri, 1985: 98-118).
Jaringan
emporium itu memungkinkan pelayaran niaga dari Timur Tengah ke Asia Timur tidak
perlu mencakup seluruh jalur itu. Para pedagang dan pelaut dari Timur Tengah
cukup berlayar hingga Surat di pesisir Malabar, India; dan para pedagang dari
Timur pun bertemu di Surat. Persebaran Islam ke Timur juga memanfaatkan
jaringan emporium itu. Majapahit dalam abad ke-14 dapat dilihat sebagai sebuah
emporium pula yang menghubungkan Asia Tenggara dan India (Hall, 1985: 232-260).
Dalam abad ke-15 posisi Majapahit itu digantikan oleh Malaka, lalu Banten dalam
abad ke-16 (Reid, 1993: 62-131).
Ternate Bandar di Jalur Sutra
Timbulnya
Ternate sebagai bandar di jalur sutra berkaitan erat dengan interaksi jalur
darat dan jalur laut tersebut, sekalipun lebih banyak dengan jalur laut
dibandingkan jalur darat. Hubungan dengan jalur darat adalah melalui Cina.
Tetapi tampaknya hubungan yang sangat penting itu tidak berlangsung lama.
Menurut sumber sejarah Cina (catatan dari Wang Tayuan, 1349) yang dikutip oleh
Anthony Reid, hubungan perdagangan langsung antara Cina dan Maluku hanya
terwujud hingga pertengahan abad ke-14.
Ekspedisi-ekspedisi
Hoang Ho dari 1371 hingga 1435 juga tidak mencapai daerah Maluku (Reid, 1993:
4). Namun dalam masa itu tampaknya orang-orang Ternate dan Tidore mulai
menyadari nilai ekonomi dari cengkeh. Bahkan istilah cengkeh pun
berasal dari bahasa-bahasa Cina yang berarti paku. Dalam bahasa Mandarin bentuknya
adalahzhi jia dan dalam bahasa Minnan dialek Kanton dan Xiamen bentuknya
adalah zhenga. Istilah cengkeh mulai umum dalam bahasa Melayu sejak abad
ke-16.
Betapa
pun penting jalur darat tersebut bagi timbulnya Ternate sebagai bandar dalam
jalur sutra, jauh lebih penting adalah jalur laut. Sejak para pedagang Cina
tidak muncul lagi di Maluku pada paroh kedua abad ke-14, peranan mereka
digantikan oleh orang-orang dari Jawa, Sumatera, Makasar dan Tagalok. Maka
sejak itu Majapahit menjadi bagian penting dari perdagangan rempah-rempah dari
Maluku. Mpu Prapanca dalam Negarakertagama-nya (1365) sempat mencatat
adanya “Maloko” yang dapat diartikan sebagai empat pusat kekuasaan di Maluku
Utara atau yang lazimnya dinamakan “Maluku Kie Raha” (Leirissa, 1996).
Sebelum
itu, yaitu dalam masa Sriwijaya, rempah-rempah dari Maluku telah dialirkan pula
melalui kerajaan di Sumatra itu. Prof. Lapian, umpamanya, mengemukakan pendapat
bahwa perdagangan di masa itu dilakukan dengan kerajaan Bacan yang mendahului
adanya kerajaan Ternate dan Tidore (Lapian, 1994: 19).
Dr.
Chris van Fraassen, yang lebih banyak menaruh perhatian pada Ternate,
berpendapat bahwa sesungguhnya perdagangan antara wilayah Maluku Utara dan Jawa
telah ada sejak abad ke-10. Seperti telah dikemukakan di atas, sejak itulah
muncul apa yang dinamakan jaringan “emporium” di Samudra Hindia. Melalui
kota-kota pelabuhan di Jawa rempah-rempah dari Maluku disalurkan ke India oleh
para pedagang Gujarat. Frekuensi perdagangan ini makin meningkat dalam abad
ke-13 (Van Fraasen, …: 30).
Namun
baru beberapa abad kemudian agama Islam dianut di Maluku Utara. Kenyataan
inilah yang menyebabkan Chaudhuri berpendapat bahwa penyebaran Islam di
Nusantara, termasuk di Maluku, tidak terkait dengan jaringan emporium yang
berawal pada abad ke-10 itu. “Argumentasi mengenai adanya hubungan kausal
antara perdagangan jarak-jauh dan penyebaran agama dan peradaban tidak sahih
bagi pengalaman sejarah Islam di kepulauan Nusantara. (Chaudhuri, 1990: 61).
Dengan kata lain, sebab-musabab penyebaran Islam di Nusantara harus dicari pada
faktor-faktor lain, bukan pada jaringan emporium tersebut.
Menurut
Thome Pires yang tidak pernah mengunjungi Maluku, agama Islam telah ada di
Maluku Utara dalam tahun-tahun 1512-1515. Tetapi Pigafetta yang berada di Maluku
tahun 1521, mendapat keterangan dari penduduk bahwa baru 50 tahun yang lalu
“orang-orang Islam menguasai Maluku”. Keterangan-keterangan lain dari
orang-orang Portugis dan Spanyol memperkuat pendapat bahwa agama Islam telah
ada di Maluku sejak akhir abad ke-15 (Van Fraassan, …: 32 – 33).
Kalau
persebaran Islam di Nusantara, khususnya di Ternate, tidak merupakan akibat
dari munculnya jaringan emporium seperti halnya di India, maka timbul
pertanyaan apa yang menjadi mekanisme sebab musabab persebaran Islam di Maluku
beberapa abad kemudian? Beberapa fakta yang dikemukakan berikut ini mungkin
penting dalam upaya menyelesaikan masalah ini.
Pertama,
perlu diperhatikan, bahwa sejak dinasti Ming menggantikan dinasti Yuan yang
didirikan Khubilai Khan itu (1368-1644) dan kemudian disusul oleh Dinasti Mancu
atau Cing (Mongol juga) sejak 1644 hingga tahun 1912 (Revolusi Cina), kerajaan
Cina selalu melaksanakan politik isolasi. Sejak itu tidak ada lagi upaya-upaya
ekspansi politik ke Selatan. Munculnya Islam di Maluku justru sejak adanya
politik isolasi itu.
Kedua,
dalam abad ke-15 persebaran Islam yang makin meningkat di Nusantara dengan
munculnya kerajaan Aceh dan pusat-pusat perdagangan/penyebaran Islam di pesisir
utara di pulau Jawa. Tuban (Gresik) merupakan salah satu pelabuhan/pusat
persebaran di Jawa yang sangat penting dalam sejarah Maluku (Manusama, 1977).
Sebagai
bandar di jalur sutra, Ternate (dan juga Tidore) mengalami masa jaya pada abad
ke-16. Pada masa itu Ternate dan Tidore berhasil meluaskan kekuasaannya di
seluruh wilayah yang terbentang antara Sulawesi dan Irian Jaya. Ternate
berekspansi ke Barat dan Selatan. Ke Selatan kekuasaannya diakui sampai ke
pesisir Timur Sulawesi, termasuk kepulauan Sula dan kepulauan Banggai.
Kemungkinan besar bagian-bagian tertentu dari pulau Buton juga termasuk dalam
kekuasaan Ternate. Ke Selatan Ternate meluaskan kekuasaannya ke Seram Barat
(jazirah Hoamoal) dan kepulauan Ambon (Leirissa, 1979).
Tidore
berekspansi ke Timur dan Selatan pula. Ke Timur kekuasaannya mencakup Irian
Jaya dan kepulauan Raja Ampat. Ke Selatan kekuasaannya mencakup pesisir Utara
pulau Seram dan kepulauan Gorong dan Seram Laut (Leirissa, 1979).
Peranan
Ternate (dan Tidore) sebagai bandar di jalur sutra dengan sendirinya terkait
dengan ekspansi itu. Tanpa adanya sumber daya yang memadai tidak mungkin
kekuasaan-kekuasaan politik itu mengadakan ekspansi politik (Axtmann, 1993:
21-45).
Peranan
Ternate (dan Tidore) sebagai bandar di jalur sutra berakhir sejak awal abad
ke-17. Sejak itu Maluku Utara beralih ke suatu sistem perdagangan lain yang
berasal dari orang-orang Barat, yaitu Verenigde Oost-indische Compagnie (VOC)
milik Belanda. Berawal dari upaya Ternate untuk menahan ekspansi Spanyol dari
Manila, maka sejak tahun 1606 VOC berangsur-angsur membangun benteng-bentengnya
di kerajaan itu. Sebagai imbalannya, VOC mendapat hak untuk melarang produksi
dan distribusi rempah-rempah wilayah kerajaan Ternate, dan larangan itu
ditegakkan melalui pengawasan hongitochten. Tidore menyusul sejak 1667.
Sejak itu wilayah produksi dan perdagangan cengkeh bagi VOC hanya dipusatkan di
kepulauan Maluku Tengah saja (Knaap, 1987) dan pala di kepulauan Banda (Hanna,
1983).
Kesimpulan
Pertama,
expansi kekuasaan orang-orang Mongol dan Turki dari Asia Tengah ke pusat-pusat
peradaban yang berbatasan dengan laut, memungkinkan munculnya kerajaan-kerajaan
dengan struktur sosial yang kuat, seperti Turki, Mongul dan Cina, yang
menentukan jaringan perdagangan emporium yang muncul sejak abad ke-10.
Kedua,
Ternate (dan Tidore) muncul sebagai bandar dalam jalur sutra yang terintegrasi
itu sejak akhir abad ke-15. Namun persebaran Islam di Ternate (dan Tidore),
seperti halnya di Nusantara, tidak terkait secara langsung dengan jaringan
emporium yang muncul di Samudra Hindia sejak abad ke-10.
Ketiga,
mengenai perkembangan Nusantara dalam “kurun niaga”, barangkali perlu
dipertimbangkan pernyataan Chaudhuri, bahwa “Sistem kerajaan di India, Jawa,
Sumatra, Birma, Thailand, dan Indocina, yang berhasil direkonstruksi oleh para
ahli sejarah itu, timbul dan tenggelam karena hal-hal yang bersifat otonom atau
semi-otonom yang dinamikanya tidak dapat dikaitkan dengan topografi Islam, Cina
dan dunia maritim Eropa yang luas itu (Chaudhuri, 1990: 106). Dikutip dari
wacananusantara.org.
Sumber
Rujukan:
Alexander,
Bevin. (1993). How Great Generals Win. New York: Avon Books.
Axtmann,
Roland. (1993). The Formation of the Modern State: The Debate in the Social
Sciences” dalam Mary Fulbrook (ed), National Histories and European
History. San Fransisco: West View Press hal. 21-45.
Braudel,
Fernand. (1988). Civilization and Capitalism (Vol. II: The Age of
Commerce). London: Collins/Fontana Press.
Chaudhuri,
K.H. (1985). Trade and Civilization in the Indian Ocean: An Economic
History from the Rise of Islam to 1750. London: Cambridge University Press.
……………
(1990). Asia Before Europe: Economy and Civilization of the Indian Ocean
from the Rise of Islam to 1750. London: Cambridge University Press.
Hall,
Kenneth R. (1985). Maritime Trade and State Development in Early Southeast
Asia. Hawaii: University of Hawaii Press.
Hanna,
Willard A. (1983). Kepulauan Banda: Kolonialisme dan Akibatnya di
Kepulauan Pala (terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Keegan,
John. (1994). A History of Warfare. London: Pelmico.
Knaap,
G.J. (1983). Kruidnagelen en Christenen: De Verenigde Oostindische
Compagnie en de Bevalking van Ambon 1656-1696. Dortrecht: Foris
Publication.
Lapian,
A.B. (1994). “Bacaan and The Early History of Maluku” dalam L.E. Visser (ed.).
Halmahera and Beyond: Social Science Research in the Moluccas. Leiden: KITLV
Press.
Leirissa,
R.Z. (1996). Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Balai Pustaka.
……………..
(1979). “Local Potentates and the Competition for Cloves in Early Seventeeth
Century Ternate”, dalam proceedings seventh IAHA Conference, Bangkok 22-26
August 1977, Bangkok: Chulalongkorn University Press.
Manusama,
Z.J. (1977). Hikayat Tanah Hitu: Historie en Sociale Structure van de
Amonsche Eilanden in het Algemeen en van uli Hitu in ket Bijzonder tat ket
Midden der Zevertiande Eew (Disertasi), Leiden: Rijks Universiteit.
Reid,
Anthony. (1993). Southeast Asia in The Age of Commerce 1450-1680 (Vol.
two: Expansion and Crisis), Chiangmai: Silkworm Books.
Roberts,
J.M. (1995). History of The World. Pinguin Books.
Rossabi,
Morris. (1988). Khubilai Khan: His Life and Times. California: University
of California Press.
Van
Frassen, Ch.F. (1994). Ternate, de Molukken en de Indonesische Archippel
van Soa-Organisatie en Vierdeling: Een Studie van Traditionale Samenleving en
Culture in Indonesia (Disertasi), Leiden.
*Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Studi
Indonesia vol. 8 no. 1 (Jan. 1998). Universitas Terbuka Jakarta. Pusat studi
Indonesia
0 comments:
Post a Comment